Aku
menggerutu kesal ketika Picanto biru itu melaju meninggalkan garasi rumah. Ini
adalah kali ketiga Kak Tiara meninggalkanku untuk pergi ke kampusnya. Padahal
rute menuju kampus birunya melewati sekolahanku. Kalau saja Papah sudah pulang
dari luar kota, aku bisa mengadu manja.
“Kenapa lagi?” Mama bertanya
sambil menyapu halaman rumah. Aku hanya bersender di tembok sambil melipat
kedua tanganku.
“Kak Tiara, Mah.. lagi-lagi dia
ninggalin aku,” ujarku.
“Mama kan udah bilang, kalau
tidur itu enggak boleh kemaleman. Kamu malah gak nurut nonton film korea di
kamar. Kalau kamu bangun gak telat kan Kak Tiara masih bisa mengantarkanmu ke
sekolah,” Mama menyeramahiku sambil merapihkan tatanan bunga-bunga di taman.
“Hari ini aku gak mau pergi ke
sekolah, udah telat juga kan Mah. Aku gak mau kena hukuman lagi sama guru
piket,” Aku langsung membuka tali sepatu dan masuk ke dalam rumah.
***
“Kamu itu
harus bersyukur hidup di jaman sekarang. Dulu waktu Mama masih seumuran kamu,
mau sekolah aja butuh perjuangan,” Mama membuka percakapan ketika aku masih
anteng memainkan Iphone ku di ruang tamu.
“Aku juga berjuang Mah biar bisa
bangun pagi tapi rasanya sulit sekali,” ujarku dengan entengnya.
“Kemarin Mama merapihkan lemari.
Mama jadi ingat dengan foto-foto ini,” ungkap Mama sambil membuka sebuah Map
biru yang sudah lusuh.
“Apa itu Mah,” Aku mulai
penasaran dan memasukan Iphone ku ke saku seragamku.
“Ini foto Mama waktu masih
sekolah. Kamu tau kan SMAN 10 itu kalau pake kendaraan cuman 10 menit? Dulu,
Mama pergi ke sekolah butuh waktu satu jam. Mengitari sawah, kebon pisang, dan
harus membuka sepatu kalau banjir datang,” kata Mama.
“Kalau ini siapa Mah?” Aku
menunjuk pada seseorang di dalam foto hitam putih itu. Lelaki berkaca mata
besar dan menggunakan seragam putih abu yang serba kedodoran.
“Itu Joko, sahabat Mama. Dulu,
kita sering pergi sekolah bareng. Sekarang dia sudah menjadi pengusaha pabrik
tahu di Purwokerto,” jelas Mama.
“Tiap hari Mama bangun
sebelum ayam berkokok. Membantu Nenek menyiapkan dagangan di pasar. Baru Mama
dikasih bekal uang untuk ke sekolah. Itu pun Mama tabungin di celengan
ayam,” tambah Mama.
“Sebegitunya Mah?” Aku tetap
menyimak percakapan Mama sambil membuka berkas-berkas yang sudah lusuh itu.
“Dengan keadaan kamu sekarang,
apa kamu masih mau bermalas-malasan Regina?” Mama bertanya sambil menutup
berkas Map birunya.
“Aku engga males Mah, Aku cuman
pengen Papah ngijinin Aku bawa mobil ke sekolah. Kalau aku diijinin Aku pasti
semangat bersekolah. Aku janji Mah,” Aku memohon pada Mama berharap Mama bisa
membujuk Papah.
“Ya enggak bisa segampang itu
sayang, Kamu harus bisa membuktikan prestasi kamu di sekolah baru Papah dan
Mama bisa percaya. Lagi pula apa salahnya sih kalo kamu naik angkot? Kamu bisa
membantu mengurangi polusi,”
“Tapi Mah…..,”
“Udah ah, Mama mau masak sayur
sop dulu. Pokoknya kalau kamu besok-besok telat dan bolos sekolah lagi, Mama
sita Handphone kamu,”
***
Aku bergegas
menaiki anak tangga, menjinjing tasku ke dalam kamar. Mengganti seragamku
dengan kaos merah muda dan celana pendek abu-abu. Aku membantingkan tubuhku ke
atas kasur. Rebahan dan menatap langit-lagit kamar yang dipenuhi wall stiker
bintang-bintang. Tiba-tiba ponselku berdering.
“Egi, kok kamu engga masuk
sekolah hari ini?” tanya Fanny melalui Line-nya.
“Kak Tiara ninggalin aku lagi L
,” jawabku sambil memasang emot sedih.
“Oh gitu, sabar ea kakaks! Siang
ini kita karaokean yuk! Kita mau seru-seruan nih,” ajak Fanny.
“Hmmm… boleh-boleh nanti aku
nyusul yah,” seruku.
Fanny, Teni,
Winda dan Rini adalah sabahat terbaikku dari kelas 1 SMP. Kita bertekad untuk
masuk SMK yang sama seperti saat ini. SMK Farmasi Taruna Ganesha.
***
Aku
mengurungkan niatku untuk ikut main bersama sahabat-sahabatku. Mama tidak
mengijinkanku untuk keluar rumah. Ia bilang hujan akan turun reda, meski
sedikit kesal namun benar saja, dari atas langit air hujan mengguyur deras
disertai dengan petir yang menyambar.
Aku menatap tetesan hujan di balik jendela kamar rumahku. Tiba-tiba aku
ternyiang kata-kata Mama tadi pagi. Aku merasa bersalah sekali selama ini.
Hidup sebagai pelajar yang hedon dan berfoya-foya, menikmati kekayaan orang
tua. Padahal papah bekerja jerih payah demi menyekolahkanku. Aku sudah
kelas dua SMK, semestinya sudah punya proyeksi masa depanku seperti apa.
Hujan ini tiba-tiba mengingatkanku pada suatu peristiwa. Waktu itu, ketika Kak
Tiara menjemputku ke sekolah. Dari jendela mobil, Aku melihat seorang anak SD
yang berlarian sambil memeluk keresek hitam di dadanya. Sepertinya itu tasnya
yang takut basah terkena air hujan. Berlari kedinginan di pinggir
trotoar. Kasian sekali hingga membuat batin ku melirih.
***
Setelah
menyambut pagi melalui twitter-ku, aku bergegas mandi dan menyiapkan
perlengkapanku menuju sekolah. Well, pagi ini adalah pagi yang istimewa
karena aku bisa bangun pagi-pagi, tepat pukul 6.00. Meskipun, Aku harus
mengorbankan film Running Man yang belum sempat aku tonton tadi malam.
Aku menuruni
tangga dan memasuki ruang makan. Di sana sudah ada Kak Tiara duduk sambil
mengunyah roti keju favoritnya. Aku duduk bergabung dan mengambil satu helai
roti dan menenggelamkannya ke dalam gelas susu vanilaku.
“Hari ini, Aku gak bakalan
nebeng sama Kaka,” ujarku sambil melahab roti.
“Loh, kenapa emang? Jadi kamu pundung
gitu,” ungkap Kak Tiara menyeruputi Susu jahenya.
“Aku mau naik angkot,” kataku.
Kak Tiara tersendak dan mengambil tisu mengusap mulutnya.
“Udah ya, aku mau pergi sekarang
takut nanti kena marah Pak Guru! Dadah Kak Tiara, Assalamualaikum, “ Aku
menjinjing sepatuku dan memakainya di depan halaman rumah.
“Pagi bener nih, tumben?” tanya
Mama di depan pintu.
“Aku mau nyoba naik angkot Ma,”
jawabku sambil mengikat tali sepatu.
“Yakin gak bakalan bareng sama
Kak Tiara?” tanya Mama memastikan.
“Engga Mah, tenang aja. Aku
pergi sekarang yah, Assalamualaikum,” Aku pamit dan menyium tangan kanan Mama.
***
Lalu lalang
kendaraan Kota Kembang pagi ini padat merayap. Padahal, jam di tangan baru
menunjukan pukul setengah tujuh pagi. Sambil celingak-celinguk
menyebrang, aku menunjuk salah satu angkot berwarna merah muda. Angkot tersebut
tidak berhenti dan aku lihat penumpangnya penuh dan berdesakan.
Angkot
kesatu, kedua ketiga sampai keempat, masih saja penuh. Rasanya, seperti
menghitung domba ketika resah tidak bisa tidur . Ya Tuhan, bagaimana ini aku
bisa terlambat lagi.
Sambil
berjalan di pinggir trotoar aku melirik angkot yang lewat. “Angkot yang gak
dibutuhin aja kosong, tapi angkot yang dicari penuh semua,” gumamku.
Belum jauh
dari perempatan pertama, sebuah Brio Silver menghentikan laju
kendaraannya. Sambil membunyikan klakson, si pengemudi menurunkan
jendela mobilnya dan menghentikan langkahku.
“Egi?” pria itu memanggilku.
“Hey, Andra,” Aku berteriak di
tengah riuk pikuk suara kendaraan.
“Ayo cepat masuk nanti kita
telat,” ajak Andra.
***
“Lagi masak apa Mah,” tanyaku
melihat Mama yang sedang sibuk memotong-sayuran.
“Eh kamu, udah pulang? Kok gak
kedengeran salamnya,”
“Hehe..” Aku tersenyum singkat
dan mencium tangan kanan Mama yang beraroma bawang.
“Tadi aku engga jadi naik angkot
Mah, Aku ketemu Andra di jalan, trus ikut naik mobil dia,”
“Kamu masih ngeluh pengen bawa
mobil ke sekolah?”
“Engga kok Mah, bukan gitu. Aku
baru sadar seharusnya Aku enggak boleh kayak gitu,”
“Kalau kamu punya keinginan yang
kuat kamu harus berusaha meraihnya. Bukan cuman merengek minta sama Orang
Tua. Harus berusaha dan punya niat. Niat yang baik akan mendapatkan hasil yang
baik,”
“Ia Mah, tadinya Aku cuman iri
aja sama temen-temen yang biasa bawa mobil ke sekolah,” Aku meninggalkan Mama
menuju kamar. Mama hanya melanjutkan aktifitas masaknya.
***
Jam Wecker ku menunjukan
pukul 05.30. Pagi ini aku terbangun lebih pagi. Sambil meregangkan ototku, aku
menghirup udara sejuk pagi hari yang belum terkontraminasi oleh polusi. Pagi
ini, aku mau naik angkot. Semoga angkotnya tidak penuh seperti kemarin.
Setelah merapihkan seragam dan
menjinjing tas Hello Kity-ku, Aku menuruni anak tangga dan berjalan
menuju ruang makan. Meja makan masih kosong, belum nampak Kak Tiara yang
biasanya sedang mengunyah roti keju sambil memainkan tabletnya.
“Mah, mobilnya kayaknya harus dibawa ke bengkel.
Engga bisa di-starter sama sekali,” Suara Kak Tiara terdengar dari pintu
garasi mobil.
“Hahahaa ..sukurin, mau naik angkot ayok bareng
sama aku,” Aku tertawa ngakak dan berjalan menuju pintu garasi mobil.
“Duh, sialan banget sih nih mobil enggak bisa
diajak kompromi,” ketus Kak Tiara.
“Engga boleh gitu Kak, kalo makin dihujat, mobilnya
engga bakalan nyala-nyala loh,” ejek ku sambil mengikat tali sepatu.
“Aku pergi dulu ya,” Aku mencium tangan Mama dan
mengucapkan salam.
Belum lama
setelah berjalan dari dalam komplek menuju jalan raya, akhirnya aku bisa
memberhentikan angkot merah muda. Di dalam angkot aku bertemu dengan tiga
pelajar SMA yang sedang ketawa-ketiwi membahas salah satu girl band asal korea.
Penampilan mereka terlihat fashionable.
Lima
menit kemudian, seorang cowok yang kayaknya mahasiswa duduk di sebelahku. Wangi
Blue Emotion membuatku sesering kali menarik nafas di dalam angkot yang
tadinya bau asap. Cowok itu menggunakan headphone. Aku lirik ia sedang
membaca novel Danur karya Risa Sarasvati.
Tiga cewek bergaya fashionable pun itu turun dari angkot. Salah satu
dari mereka menarik seragamnya dari belakang punggungnya. Seragam putih abu
yang indis dan terlihat kekecilan membuatnya harus menutupi pinggulnya yang
sedikit keliatan. Sebuah benda kecil terjatuh dari kantong salah satu dari tiga
cewek itu. Belum sempat aku memanggil mereka, mereka sudah berlari dan terlihat
tergesa-gesa memasuki gerbang sekolahnya. Aku mengambil benda itu, yang
merupakan kartu pelajar dari seorang siswi bernama “Selvi”.
Tiga puluh
menit kemudian, sejauh mata memandang, aku melihat gedung orange
sekolahku. Akupun langsung mengucapkan “Kiri” sebagai isyarat untuk
menghentikan angkot yang tepat berhenti di depan sekolahku.
***
Bel sekolah
berdering nyaring. Gerombolan siswa keluar dari kelasnya masing-masing. Aku
berjalan melewati koridor sekolah. Seseorang memanggil. Suaranya yang familiar
mengajak kepalaku untuk menoleh ke belakang.
“Andra?” sahutku setelah ia
menghampiri dan mendekati.
“Pulang sekolah kamu mau anterin
Aku gak ke toko buku? Aku disuruh bikin resume farmakokinetik
sama Bu Santi. Tugas remedial Farmakologi nih, bantuin yuk,” ujar Andra
memandang fokus mataku.
“Hmm… gimana yah, tapi aku
bentar lagi dijemput Kak Tiara,” Aku melirik jam tangan Hello Kitty yang
melingkar manis di pergelangan tanganku.
“Yah, gitu ya,” Andra memudarkan
lengkungan senyumnya.
“Tunggu, Dra,” Aku menarik
tangan Andra yang akan berjalan menjauh dari pandanganku.
“Kenapa,” tanya Andra. Matanya
indah, membuat ritme jantungku berdegup tidak stabil.
“Aku mau kok nganterin kamu ke
toko buku! AKu lupa kalo mobil Kak Tiara masuk bengkel,” Semburat senyuman
manis yang terukir di wajah Andra meluluhkan bentuk awan di atas sana.
***
“Kartu pelajar siapa itu? Daritadi
diliatin mulu,” ujar Andra sambil mengemudikan mobil silvernya.
“Tadi waktu diangkot jatuh,
belum sempat aku manggilnya yang punya nya eh angkotnya keburu melaju. Dianya
juga buru-buru,”
“Ada alamatnya kan, sekalian
kita anterin aja ke rumahnya,”
Usai mengantarkan Andra membeli buku, Aku dan Andra mengantarkan kartu pelajar
yang menyantumkan namanya “Selvi”. Seorang siswi di salah satu SMA Swasta
Bandung. Dari penampilannya yang kece aku menduga ia adalah seorang anak
orang kaya. Meski agak ragu dengan arah jalan yang sesuai dicantumkan pada
kartu pelajar, aku mengikuti langkah Andra menuju jalanan kumuh dan becek.
“Yakin lewat sini, Dra,” tanyaku
pada Andra.
“Bener kok, Gi.. tadi aku udah
nanya ke beberapa orang jawabannya sama, lewat sini,” Andra melirik ke kanan
dan ke kiri sambil memandang kartu pelajar yang aku berikan. Beberapa lama
kemudian, Aku dan Andra menemukan alamat dari rumah Selvi.
Sambil
mengetuk pintu dan mengucapkan salam, seorang perempuan tua berambut putih
membukakan pintu. Wajahnya keriput dan terlihat sangat pucat. Ia menjawab salam
disertai dengan hentakan batuk dari mulutnya.
“Bu, apa benar ini rumahnya
Selvi,” tanya Andra.
“Ia, benar sini masuk Nak, tapi
Selvinya sepertinya belum pulang sekolah,” ujar Ibu tua yang kemudian mengajak
kami masuk.
Rumah berbilik kayu itu terlihat sangat rapuh. Banyak sarang laba-laba dan debu
dari sudut pojok ruangan. Ruang tamunya lesehan, hanya beralaskan samak kayu.
Rumah berpetak itu mengingatkanku pada istana rumahku yang sangat berbanding
jauh.
“Temennya Selvi dari mana ya,”
Ujar Ibu tua itu sambil menyajikan dua gelas teh hangat di atas tatakan
berwarna biru.
“Ini Bu, tadi pagi kartu
pelajarnya jatuh di angkot, kebetulan aja tadi lewat sini sekalian dianterin,”
ujarku sambil mengulurkan tangan dan memberikan kartu pelajar Selvi.
Beberapa menit kemudian kami
berbincang dengan Ibunda Selvi, dua orang gadis pelajar yang nampaknya aku
lihat tadi pagi diangkot berlari masuk ke dalam rumah tanpa mengucapkan salam.
“Mamah Selvi, tadi Selvi
ketabrak mobil. Sekarang ada di Rumah Sakit Santo Yusuf,” ucap salah seorang
dari gadis itu. Nafasnya terenggah-enggah.
“Astagfirullahaladzim……,” Teriak
Ibunda Selvi bergegas membetulkan kerudungnya.
“Yaudah kita ke sana sekarang
aja pake mobil saya,” Andra langsung mencari kunci mobilnya di saku celana
seragamnya.
***
Raut wajah
Ibunda Selvi terlihat gelisah dan panik. Sedari tadi di mobil ia mengucapkan
kalimat istigfar dan berdoa demi keselamatan anak satu-satunya. Setelah menuju
ruangan UGD, kami menunggu di ruang tunggu. Kedua teman Selvi mengusap punggung
Ibunda sahabatnya itu. Tak kuat menahan kekhawatiran, tetesan air mata jatuh
dari kedua bola matanya. Batinku semakin melirih dan ingin rasanya ikut
menangis. Ya Tuhan, aku berharap Selvi bisa baik-baik saja.
“Kita berdoa aja, semoga Selvi
bisa ditangani dokter dengan baik,” ungkap Andra sambil memegang tanganku.
“Kondisi pasien sudah baik-baik
saja. Ia hanya mengalami memar dan luka. Sudah diberikan Analgesik dan obat
penenang untuk traumanya. Untuk sementara silahkan Ibu melengkapi biaya
administrasinya di Kassa agar pasien bisa segera dipindahkan ke ruang inap,”
tutur Pria berjas putih yang keluar dari ruangan UGD.
“Uang dari mana atuh, buat bayar
sekolah aja masih susah,” Ibu itu semakin menangis dan terlihat bingung ingin
melakukan apa.
Aku menarik tangan Andra menuju
kasir. Langkah sepatuku yang berdecit di lantai sedikit menarik perhatian
beberapa orang yang berada di rumah sakit.
“Pasien bernama Selvi yang ada
di ruang UGD, Mbak Suster,” ucapku sedikit jingjit menyeimbangkan tubuh
mungilku dengan meja kassa.
“Tiga juta empat ratus ribu
rupiah, Mbak,” ungkap suster cantik sambil memberikan dua carik kertas. Aku
berbaik dan membuka isi dompetku. Yang ada hanya tiga lembar uang pecahan lima
puluh ribu.
“Kalau saya bayar pake ini buat
jaminan gimana Mbak Suster? Besok saya tebus, yang penting pasien ini udah bisa
dikasih obat dan perawatan inap suster,”
“Gimana ya Mbak, sebentar saya
tanya kepala bagian dulu,”
“Kamu yakin ngerelain Iphone
kamu buat biaya pengobatan Selvi,”
“Yakinlah, ini tu urgent
banget, Ndra,”
“Mbak untuk sementara ponsel ini
boleh untuk menjadi jaminan. Silahkan mengisi data base rumah sakit terlebih
dahulu,” ungkap suster itu.
***
“Mah, kalau
aku minjem dulu uang empat juta aja boleh enggak? Besok aku ganti deh janji,”
Aku memohon pada Mama yang sedang menonton televisi. Arah matanya masih
memandang ke depan tertawa melihat tingkah Sule dan kawan-kawannya dalam OVJ.
“Buat apa Nak? Kamu tuh yah,
tadi pulang larut malem, sekarang minta yang aneh-aneh pula,”
“Mah, kali ini Regina janji deh
bakalan jadi anak yang nurut sama orang tua. Enggak bakalan hambur-hambur duit.
Mau fokus sekolah biar bisa jadi seorang Apoteker handal yang bisa membanggakan
orang tua,”
“Gombal tuh Mah, jangan
dipercaya palingan duitnya buat neraktir temennya,” samber Kak Tiara dari arah
kamarnya.
“Handphone kamu mana? Tadi Mamah
telepon kenapa engga aktif?”
“Nah, justru itu Mah, tadi temen
aku masuk rumah sakit. Aku engga tega liat dia. Orang tuanya engga mampu.
Makanya aku gadein Iphone aku buat nebus obat. Nih buktinya kalo engga
percaya,” ucapku sambil menunjukkan bukti kertas yang tadi diberikan Mbak
Suster.
“Kok kamu tiba-tiba jadi heroes
kayak gini,” Mama mendaratkan pandangannya ke arahku. Ia tidak lagi memandang
layar televisi di hadapannya.
“Setelah mendengarkan ucapan
Mama, Aku baru sadar kalo masih banyak orang yang tidak seberuntung kita di
sini. Di luar sana banyak yang kelaparan dan kedinginan. Allah udah ngasih aku
pengalaman berharga hari ini. Aku yakin kok, sikap aku kali ini engga salah.
Bukannya Mama pernah bilang kalo niat yang baik itu akan mendapatkan hasil yang
baik,” Mama langsung memelukku. Matanya berbinar dan terharu.
***
Waktu berlalu
begitu cepat memberikan berjuta pena berharga di dalam perjalan hidupku.
Bagiku, hidup itu seperti desiran ombak, ritme nya tidak bisa ditebak. Aku
bersyukur sekali, Tuhan telah mengijinkan Andra untuk menjadi bagian dari
hidupku. Mengisi hari-hariku dan menjadi vitamin yang menyegarkan
semangatku.
Kini tepat
100 hari kepergian Mama. Di bulan suci Ramadhan, Mama menghembuskan nafas
terakhirnya ketika sedang membuat tajil untuk dibagikan ke mesjid. Dokter
bilang Mama terkena hipertensi.
Inilah
kenyataan yang paling pahit dalam hidupku, kehilangan satu-satunya orang yang
paling aku sayang. Sempat aku berfikir bahwa aku tidak akan mendapatkan
lagi kebahagiaan karena bagiku, memiliki sosok Ibu adalah satu-satunya
kebahagiaan.
Namun, Aku
yakin Mama akan selalu ada di setiap langkahku menuju kebaikkan. She’s my
guardian angel . Aku akan penuhi janjiku padamu Mah, Aku yakin akan
ucapanmu.
“Niat yang baik akan mendapatkan
hasil yang baik, Aku berjanji akan jadi lebih baik Mah,” Andra membelai
rambutku. Aku segera melangkah pergi menjauh dari pemakaman.
------end------