#Hari Kedua…
Menikmati keindahan Pantai Pelabuhan
Ratu di kala subuh.
Niatnya sih pengen gitu. Tapi, pagi
ini aku tak hiraukan alunan lagu Bill Fold yang berbisik hardcore ke telingaku. Ini gara-gara Teh Resti yang ketagihan sama aplikasi
karaoke di handphone-ku. Tadi malam, doi ngajakin nyanyi berduet bareng. Saking
lupanya gak kerasa entah berapa album lagu yang kita nyanyiin bareng di kamar.
Aku tengok Key sudah terlelap lebih dulu. Tapi tetap aja, kita bangun dengan
waktu yang bersamaan.
Sebenernya gak apa-apa sih gak usah
pagi banget menuju pantai. Toh di Palabuhan Ratu memang sulit mendapatkan
sunrise. Aku pernah menantinya di Pantai Karang Hawu, tapi matahari hanya
mengintip malu di balik bukit di ujung sana. Entah, mungkin tempat yang paling
cuco buat liat sunrise ganteng adalah Pantai Ujung Genteng. Oke. next time I’ll be there ya..
Setelah mandi dan menyeruputi
segelas milo hangat, Aku dan Key berbegas menuju Pantai Citepus. Lagi? Iya sih
ke sana lagi tapi bukan tempat yang kemarin waktu minum es kelapa. Masih di
kawasan Pantai CItepus tepatnya dekat mesjid Istiqomah, pagi ini kita nongkrong
cantik di sini. Kurang pas rasanya kalo belum menyentuh ombak-ombak lucu di
sini. Meski gak berenang, kita sengaja membasahi setengah kaki sekedar berkenalan
dengan ombak di sana. Tak lama kemudian, A Efan datang menghampiri. Aku segera
menarik tangannya dan kamipun berselfie ria.
“Kak Efan.. kita pengen main ke
Pantai Loji,” ujar Key sambil merengek seperti anak SD yang minta dibeliin es
krim. Akupun ikut merayu seperti seorang gadis yang minta dibeliin mas kawin. #eh
“Tunggu Yah, nunggu Wa Erik dulu
bawa motor,” jawab A Efan dengan selow nya. Selang beberapa menit, A Erik datang dengan
motor matiknya. Muka-mukanya sih kayak yang abis mandi. Tanpa menunggu lama, kami
berempat langsung tancap gas menuju Desa Loji, Kecamatan Simpenan, Kabupaten
Sukabumi.
Pantai Loji.
Ini kali kedua aku menuju ke sana. Jalannya
memang cukup rusak. Bukan cukup sih kayaknya emang rusak banget. Terakhir
kesana 2013 waktu masih langsing-langsingnya dan jalannya engga separah ini.
Bebatuan, licin dan berlubang. Khawatirnya nih, ban kempes karena keberatan
beban. Iya, aku nyadar body ko makanya bilang gitu..
Nah, selain sebagai tempat wisata,
Pantai Loji juga merupakan tempat ibadahnya penganut Buddha. Di sini, terdapat
sebuah vihara bernama Nam Hai Kwan Im Pu Sa atau bisa disebut dengan lebih
singkat sebagai Vihara Loji. Pas pertama dateng, ada dua patung naga berkepala
tujuh yang akan menyambut di pintu masuk. Untuk menuju puncak vihara kita harus
menapaki sekitar 300 anak tangga. Di lingkungan Vihara ini terdapat banyak
fasilitas peribadatan seperti Dewi Bumi, Dewa Bumi, Julehut, Dewi Kwan Im,
Padepokan Eyang Semar, Padepokan Prabu Siliwangi, Budha Four Face, dan yg
menarik dari vihara ini adanya Padepokan khusus untuk Ratu Pantai Selatan (Nyi
Roro Kidul). Mungkin karna lokasi nya yang dekat dengan pantai selatan kayaknya..
Makanya dibuat persembahan untuk Sang Ratu.
Setelah mampir dan tengok-tengok sebentar
ke Pantai Loji, kita segera menuju ke Curug Semar. Curug ini ada di dekat
Pantai Loji. Sebenernya sih namanya Curug Glodok eh gatau Glodog gitu ya
nulisnya. Tapi karena bentuknya mirip dengan Semar jadi lebih popular disebut
Curug Semar. Memang sangat tersembunyi karena untuk menuju ke sini kita harus parkir
di sekitar halaman rumah warga. Baru deh kita masuk ke semak belukar, areal
sawah dan hutan-hutan dengan foreground
tebing-tebing yang kece banget deh pokoknya.
Selama perjalanan kurang lebih 20
menit berjalan, kami bercanda gurau dan sesekali diam karena kelelahan.
Keringat pun mengucur deras. Namun tak sederas semangat kami yang tak sabar
ingin segera menikmati derasnya air terjun tersebut. A Efan dan A Erik memandu
kami sambil memperingati untuk berhati-hati. Jalanannya memang menanjak dan
cukup licin. Karena Aku salah pake sandal, alhasil akupun terpeleset jatuh ke
sebuah pudunan. Sambil tangan kanan menahan ke sebuah ranting, dalam waktu
bersamaan aku menahan agar kamera di tangan kiri tidak terbentur sedikitpun. A
Efan langsung mengulurkan tangannya mencoba membantu.
“Jangan selametin aku. Selametin
aja kameranya,” ungkapku sedikit berteriak. Key dan A Erik pun tertawa. Emang sih
buat aku lebih penting menyelamatkan kamera selagi mengalami luka yang tak
seberapa. Bahkan luka hati sedikitpun (ciee.. no hard feeling aja deh). Aku lebih rela kehujanan atau kepanasan
asal kamera bisa terselamatkan. Kurang berkorban apa lagi coba aku? Iya kamu. Demi
kamera.. bagiku, kamu.. penawar letihku. (pantes jomblo)
Meski kaki sedikit dadas dan memar,
aku segera berdiri dan Kami pun melanjutkan perjalanan yang katanya bentar
lagi. Tanpa mengeluh… Ayoooooo letsgoh jalan-jalan men!
Sesampainya di Curug Semar, I find that very surprising… Kita
langsung mendekat ke air terjun dan berfoto ria. Curug yang memiliki ketinggian
sekitar 10 meter ini memang punya sejarah tersendiri. Bahkan, menurut Muhammad
Arie, kuncen di sini. Konon, curug ini curug tertua dan sakral karena merupakan
pintu masuknya kerajaan jin. Tak heran, kadang ada yang datang ke sini untuk
melakukan ritual di bulan-bulan tertentu.
Dengan permisi dan tidak membuang
sampah sembarangan, kami pun menikmati suasana kesejukan gemercik air
terjunnya. Pengennya sih nyebur juga di situ. Tapi, Key menyarankan untuk tidak
basah-basahan karena takut masuk angin.
Belum lama kita bermesraan dengan
Curug Semar, sejumlah remaja datang menghampiri.
“Assalamualaikum Pak,” ungkap
mereka sambil mengulurkan tangan dan bersalaman dengan A Efan.
“Atuh ai diluar sakola mah ulah nyebat Bapak,” kata A Efan dengan
logat sundanya.
“ Oh, ternyata itu murid-murid nya A
Efan,” gumamku dalam hati. Mereka yang usianya gak jauh beda denganku langsung
berkenalan denganku. (Gak jauh beda? Iya sih dibanding sama usia Pak Efan jelas
lebih jauh bedanya hahaa…)
“Oh, jadi kalian ini baru lulus
SMA?” tanyaku sambil mengajak duduk di tepi kolam curug.
“Iya Bu,” jawabnya. Mampus deh, gue
jadi kebawa-bawa disapa ibu.
“Ih panggil teteh aja atuh, da kita
teh seumuran,” ungkapku sambil tersenyum lebar. Merekapun sedikit tertawa. Iya
tau kok tertawa karena merasa tidak percaya.
“Teh ko celananya kotor kayak yang
habis jatoh?” Tanya salah seorang gadis dari mereka.
“Iya, barusan kepeleset dikit,”
jawabku. (apanan heu’euh)
Ternyata mereka ini sengaja membawa
makanan dari rumah untuk makan bersama. Istilahnya, Botram. Meskipun makan
dengan nasi, tumis kangkung, asin dan kerupuk, makan siang kami terasa lezat
dengan kenikmatan suasana air terjun dan keakraban yang kami ciptakan dengan
singkat.
Happiness
is simple…
Nikmat itu bukan dari seberapa
mahal tempat atau makanan yang kita makan, tapi seberapa bersyukurnya kita bisa
bahagia dengan kesederhanaan dan saling berbagi kebahagiaan. Where did you get it? Di tengah kota,
belum tentu dengan hangout dan bergosip
kita akan merasakan tertawa dan bahagia yang sama.
hy regi
ReplyDeleteHay salam dari anak loji. Kalo dulu iya jalan sangat rusak. Tapi sekarang udah normal jalan bagus. ☺
ReplyDelete