Friday 14 June 2013

My Guardian Angel : “Niat yang Baik Akan Mendapatkan Hasil yang Baik,”


Aku menggerutu kesal ketika Picanto biru itu melaju meninggalkan garasi rumah. Ini adalah kali ketiga Kak Tiara meninggalkanku untuk pergi ke kampusnya. Padahal rute menuju kampus birunya melewati sekolahanku. Kalau saja Papah sudah pulang dari luar kota,  aku bisa mengadu manja.
“Kenapa lagi?” Mama bertanya sambil menyapu halaman rumah. Aku hanya bersender di tembok sambil melipat kedua tanganku.
“Kak Tiara, Mah.. lagi-lagi dia ninggalin aku,” ujarku.
“Mama kan udah bilang, kalau tidur itu enggak boleh kemaleman. Kamu malah gak nurut nonton film korea di kamar. Kalau kamu bangun gak telat kan Kak Tiara masih bisa mengantarkanmu ke sekolah,” Mama menyeramahiku sambil merapihkan tatanan bunga-bunga di taman.
“Hari ini aku gak mau pergi ke sekolah, udah telat juga kan Mah. Aku gak mau kena hukuman lagi sama guru piket,” Aku langsung membuka tali sepatu dan masuk ke dalam rumah.
***
“Kamu itu harus bersyukur hidup di jaman sekarang. Dulu waktu Mama masih seumuran kamu, mau sekolah aja butuh perjuangan,” Mama membuka percakapan ketika aku masih anteng memainkan Iphone ku di ruang tamu.
“Aku juga berjuang Mah biar bisa bangun pagi tapi rasanya sulit sekali,” ujarku dengan entengnya.
“Kemarin Mama merapihkan lemari. Mama jadi ingat dengan foto-foto ini,” ungkap Mama sambil membuka sebuah Map biru yang sudah lusuh.
“Apa itu Mah,” Aku mulai penasaran dan memasukan Iphone ku ke saku seragamku.
“Ini foto Mama waktu masih sekolah. Kamu tau kan SMAN 10 itu kalau pake kendaraan cuman 10 menit? Dulu, Mama pergi ke sekolah butuh waktu satu jam. Mengitari sawah, kebon pisang, dan harus membuka sepatu kalau banjir datang,” kata Mama.
“Kalau ini siapa Mah?” Aku menunjuk pada seseorang di dalam foto hitam putih itu. Lelaki berkaca mata besar dan menggunakan seragam putih abu yang serba kedodoran.
“Itu Joko, sahabat Mama. Dulu, kita sering pergi sekolah bareng. Sekarang dia sudah menjadi pengusaha pabrik tahu di Purwokerto,” jelas Mama.
 “Tiap hari Mama bangun sebelum ayam berkokok. Membantu Nenek menyiapkan dagangan di pasar. Baru Mama dikasih bekal uang untuk ke sekolah. Itu pun Mama tabungin di celengan ayam,”  tambah Mama.
“Sebegitunya Mah?” Aku tetap menyimak percakapan Mama sambil membuka berkas-berkas yang sudah lusuh itu.
“Dengan keadaan kamu sekarang, apa kamu masih mau bermalas-malasan Regina?” Mama bertanya sambil menutup berkas Map birunya.
“Aku engga males Mah, Aku cuman pengen Papah ngijinin Aku bawa mobil ke sekolah. Kalau aku diijinin Aku pasti semangat bersekolah. Aku janji Mah,” Aku memohon pada Mama berharap Mama bisa membujuk Papah.
“Ya enggak bisa segampang itu sayang, Kamu harus bisa membuktikan prestasi kamu di sekolah baru Papah dan Mama bisa percaya. Lagi pula apa salahnya sih kalo kamu naik angkot? Kamu bisa membantu mengurangi polusi,”
“Tapi Mah…..,”
“Udah ah, Mama mau masak sayur sop dulu. Pokoknya kalau kamu besok-besok telat dan bolos sekolah lagi, Mama sita Handphone kamu,”
***
Aku bergegas menaiki anak tangga, menjinjing tasku ke dalam kamar. Mengganti seragamku dengan kaos merah muda dan celana pendek abu-abu. Aku membantingkan tubuhku ke atas kasur. Rebahan dan menatap langit-lagit kamar yang dipenuhi wall stiker bintang-bintang.  Tiba-tiba ponselku berdering.
“Egi, kok kamu engga masuk sekolah hari ini?” tanya Fanny melalui Line-nya.
“Kak Tiara ninggalin aku lagi L ,” jawabku sambil memasang emot sedih.
“Oh gitu, sabar ea kakaks! Siang ini kita karaokean yuk! Kita mau seru-seruan nih,” ajak Fanny.
“Hmmm… boleh-boleh nanti aku nyusul yah,” seruku.
Fanny, Teni, Winda dan Rini adalah sabahat terbaikku dari kelas 1 SMP. Kita bertekad untuk masuk SMK yang sama seperti saat ini. SMK Farmasi Taruna Ganesha.
***
Aku mengurungkan niatku untuk ikut main bersama sahabat-sahabatku. Mama tidak mengijinkanku untuk keluar rumah. Ia bilang hujan akan turun reda, meski sedikit kesal namun benar saja, dari atas langit air hujan mengguyur deras disertai dengan petir yang menyambar.
            Aku menatap tetesan hujan di balik jendela kamar rumahku. Tiba-tiba aku ternyiang kata-kata Mama tadi pagi. Aku merasa bersalah sekali selama ini. Hidup sebagai pelajar yang hedon dan berfoya-foya, menikmati kekayaan orang tua. Padahal papah bekerja jerih payah demi menyekolahkanku.  Aku sudah kelas dua SMK, semestinya sudah punya proyeksi masa depanku seperti apa.
            Hujan ini tiba-tiba mengingatkanku pada suatu peristiwa. Waktu itu, ketika Kak Tiara menjemputku ke sekolah. Dari jendela mobil, Aku melihat seorang anak SD yang berlarian sambil memeluk keresek hitam di dadanya. Sepertinya itu tasnya yang takut basah terkena air hujan.  Berlari kedinginan di pinggir trotoar. Kasian sekali hingga membuat batin ku melirih.
***
Setelah menyambut pagi melalui twitter-ku, aku bergegas mandi dan menyiapkan perlengkapanku menuju sekolah. Well, pagi ini adalah pagi yang istimewa karena aku bisa bangun pagi-pagi, tepat pukul 6.00. Meskipun, Aku harus mengorbankan film Running Man yang belum sempat aku tonton tadi malam.
Aku menuruni tangga dan memasuki ruang makan. Di sana sudah ada Kak Tiara duduk sambil mengunyah roti keju favoritnya. Aku duduk bergabung dan mengambil satu helai roti dan menenggelamkannya ke dalam gelas susu vanilaku.
“Hari ini, Aku gak bakalan nebeng sama Kaka,” ujarku sambil melahab roti.
“Loh, kenapa emang? Jadi kamu pundung gitu,” ungkap Kak Tiara menyeruputi Susu jahenya.
“Aku mau naik angkot,” kataku. Kak Tiara tersendak dan mengambil tisu mengusap mulutnya.
“Udah ya, aku mau pergi sekarang takut nanti kena marah Pak Guru! Dadah Kak Tiara, Assalamualaikum, “ Aku menjinjing sepatuku dan memakainya di depan halaman rumah.
“Pagi bener nih, tumben?” tanya Mama di depan pintu.
“Aku mau nyoba naik angkot Ma,” jawabku sambil mengikat tali sepatu.
“Yakin gak bakalan bareng sama Kak Tiara?” tanya Mama memastikan.
“Engga Mah, tenang aja. Aku pergi sekarang yah, Assalamualaikum,” Aku pamit dan menyium tangan kanan Mama.
***
Lalu lalang kendaraan Kota Kembang pagi ini padat merayap. Padahal, jam di tangan baru menunjukan pukul setengah tujuh pagi.  Sambil celingak-celinguk menyebrang, aku menunjuk salah satu angkot berwarna merah muda. Angkot tersebut tidak berhenti dan aku lihat penumpangnya penuh dan berdesakan.
Angkot kesatu, kedua ketiga sampai keempat, masih saja penuh. Rasanya, seperti menghitung domba ketika resah tidak bisa tidur . Ya Tuhan, bagaimana ini aku bisa terlambat lagi.
Sambil berjalan di pinggir trotoar aku melirik angkot yang lewat. “Angkot yang gak dibutuhin aja kosong, tapi angkot yang dicari penuh semua,” gumamku.
Belum jauh dari perempatan pertama, sebuah Brio Silver menghentikan laju kendaraannya. Sambil membunyikan klakson, si pengemudi   menurunkan jendela mobilnya dan menghentikan langkahku.
“Egi?” pria itu memanggilku.
“Hey, Andra,” Aku berteriak di tengah riuk pikuk suara kendaraan.
“Ayo cepat masuk nanti kita telat,” ajak Andra.
***
“Lagi masak apa Mah,” tanyaku melihat Mama yang sedang sibuk memotong-sayuran.
“Eh kamu, udah pulang? Kok gak kedengeran salamnya,”
“Hehe..” Aku tersenyum singkat dan mencium tangan kanan Mama yang beraroma bawang.
“Tadi aku engga jadi naik angkot Mah, Aku ketemu Andra di jalan, trus ikut naik mobil dia,”
“Kamu masih ngeluh pengen bawa mobil ke sekolah?”
“Engga kok Mah, bukan gitu. Aku baru sadar seharusnya Aku enggak boleh kayak gitu,”
“Kalau kamu punya keinginan yang kuat kamu harus berusaha meraihnya.  Bukan cuman merengek minta sama Orang Tua. Harus berusaha dan punya niat. Niat yang baik akan mendapatkan hasil yang baik,”
“Ia Mah, tadinya Aku cuman iri aja sama temen-temen yang biasa bawa mobil ke sekolah,” Aku meninggalkan Mama menuju kamar. Mama hanya melanjutkan aktifitas masaknya.
***
Jam Wecker ku menunjukan pukul 05.30. Pagi ini aku terbangun lebih pagi. Sambil meregangkan ototku, aku menghirup udara sejuk pagi hari yang belum terkontraminasi oleh polusi. Pagi ini, aku mau naik angkot. Semoga angkotnya tidak penuh seperti kemarin.
Setelah merapihkan seragam dan menjinjing tas Hello Kity-ku, Aku menuruni  anak tangga dan berjalan menuju ruang makan. Meja makan masih kosong, belum nampak Kak Tiara yang biasanya sedang mengunyah roti keju sambil memainkan tabletnya.
“Mah, mobilnya kayaknya harus dibawa ke bengkel. Engga bisa di-starter sama sekali,” Suara Kak Tiara terdengar dari pintu garasi mobil.
“Hahahaa ..sukurin, mau naik angkot ayok bareng sama aku,” Aku tertawa ngakak dan berjalan menuju pintu garasi mobil.
“Duh, sialan banget sih nih mobil enggak bisa diajak kompromi,” ketus Kak Tiara.
“Engga boleh gitu Kak, kalo makin dihujat, mobilnya engga bakalan nyala-nyala loh,” ejek ku sambil mengikat tali sepatu.
“Aku pergi dulu ya,” Aku mencium tangan Mama dan mengucapkan salam.
Belum lama setelah berjalan dari dalam komplek menuju jalan raya, akhirnya aku bisa memberhentikan angkot merah muda.  Di dalam angkot aku bertemu dengan tiga pelajar SMA yang sedang ketawa-ketiwi membahas salah satu girl band asal korea. Penampilan mereka terlihat fashionable.
  Lima menit kemudian, seorang cowok yang kayaknya mahasiswa duduk di sebelahku. Wangi Blue Emotion membuatku sesering kali menarik nafas di dalam angkot yang tadinya bau asap. Cowok itu menggunakan headphone. Aku lirik ia sedang membaca novel Danur karya Risa Sarasvati.
            Tiga cewek bergaya fashionable pun itu turun dari angkot. Salah satu dari mereka menarik seragamnya dari belakang punggungnya. Seragam putih abu yang indis dan terlihat kekecilan membuatnya harus menutupi pinggulnya yang sedikit keliatan. Sebuah benda kecil terjatuh dari kantong salah satu dari tiga cewek itu. Belum sempat aku memanggil mereka, mereka sudah berlari dan terlihat tergesa-gesa memasuki gerbang sekolahnya.  Aku mengambil benda itu, yang merupakan kartu pelajar dari seorang siswi bernama “Selvi”.
Tiga puluh menit kemudian, sejauh mata memandang, aku melihat gedung orange sekolahku. Akupun langsung mengucapkan “Kiri” sebagai isyarat untuk menghentikan angkot yang tepat berhenti di depan sekolahku.
***
Bel sekolah berdering nyaring. Gerombolan siswa keluar dari kelasnya masing-masing. Aku berjalan melewati koridor sekolah. Seseorang memanggil. Suaranya yang familiar mengajak kepalaku untuk menoleh ke belakang.
“Andra?” sahutku setelah ia menghampiri dan mendekati.
“Pulang sekolah kamu mau anterin Aku gak ke toko buku? Aku disuruh bikin resume farmakokinetik sama Bu Santi. Tugas remedial Farmakologi nih, bantuin yuk,” ujar Andra memandang fokus mataku.
“Hmm… gimana yah, tapi aku bentar lagi dijemput Kak Tiara,” Aku melirik jam tangan Hello Kitty yang melingkar manis di pergelangan tanganku.
“Yah, gitu ya,” Andra memudarkan lengkungan senyumnya.
“Tunggu, Dra,” Aku menarik tangan Andra yang akan berjalan menjauh dari pandanganku.
“Kenapa,” tanya Andra. Matanya indah, membuat ritme jantungku berdegup tidak stabil.
“Aku mau kok nganterin kamu ke toko buku! AKu lupa kalo mobil Kak Tiara masuk bengkel,” Semburat senyuman manis yang terukir di wajah Andra meluluhkan bentuk awan di atas sana.
***
“Kartu pelajar siapa itu? Daritadi diliatin mulu,” ujar Andra sambil mengemudikan mobil silvernya.
“Tadi waktu diangkot jatuh, belum sempat aku manggilnya yang punya nya eh angkotnya keburu melaju. Dianya juga buru-buru,”
“Ada alamatnya kan, sekalian kita anterin aja ke rumahnya,”
            Usai mengantarkan Andra membeli buku, Aku dan Andra mengantarkan kartu pelajar yang menyantumkan namanya “Selvi”. Seorang siswi di salah satu SMA Swasta Bandung.  Dari penampilannya yang kece aku menduga ia adalah seorang anak orang kaya. Meski agak ragu dengan arah jalan yang sesuai dicantumkan pada kartu pelajar, aku mengikuti langkah Andra menuju jalanan kumuh dan becek.
“Yakin lewat sini, Dra,” tanyaku pada Andra.
“Bener kok, Gi.. tadi aku udah nanya ke beberapa orang jawabannya sama, lewat sini,” Andra melirik ke kanan dan ke kiri sambil memandang kartu pelajar yang aku berikan. Beberapa lama kemudian, Aku dan Andra menemukan alamat dari rumah Selvi.
Sambil mengetuk pintu dan mengucapkan salam, seorang perempuan tua berambut putih membukakan pintu. Wajahnya keriput dan terlihat sangat pucat. Ia menjawab salam disertai dengan hentakan batuk dari mulutnya.
“Bu, apa benar ini rumahnya Selvi,” tanya Andra.
“Ia, benar sini masuk Nak, tapi Selvinya sepertinya belum pulang sekolah,” ujar Ibu tua yang kemudian mengajak kami masuk.
            Rumah berbilik kayu itu terlihat sangat rapuh. Banyak sarang laba-laba dan debu dari sudut pojok ruangan. Ruang tamunya lesehan, hanya beralaskan samak kayu. Rumah berpetak itu mengingatkanku pada istana rumahku yang sangat berbanding jauh.
“Temennya Selvi dari mana ya,” Ujar Ibu tua itu sambil menyajikan dua gelas teh hangat di atas tatakan berwarna biru.
“Ini Bu, tadi pagi kartu pelajarnya jatuh di angkot, kebetulan aja tadi lewat sini sekalian dianterin,” ujarku sambil mengulurkan tangan dan memberikan kartu pelajar Selvi.
Beberapa menit kemudian kami berbincang dengan Ibunda Selvi, dua orang gadis pelajar yang nampaknya aku lihat tadi pagi diangkot berlari masuk ke dalam rumah tanpa mengucapkan salam.
“Mamah Selvi, tadi Selvi ketabrak mobil. Sekarang ada di Rumah Sakit Santo Yusuf,” ucap salah seorang dari gadis itu. Nafasnya terenggah-enggah.
“Astagfirullahaladzim……,” Teriak Ibunda Selvi bergegas membetulkan kerudungnya.
“Yaudah kita ke sana sekarang aja pake mobil saya,” Andra langsung mencari kunci mobilnya di saku celana seragamnya.
***
Raut wajah Ibunda Selvi terlihat gelisah dan panik. Sedari tadi di mobil ia mengucapkan kalimat istigfar dan berdoa demi keselamatan anak satu-satunya. Setelah menuju ruangan UGD, kami menunggu di ruang tunggu. Kedua teman Selvi mengusap punggung Ibunda sahabatnya itu. Tak kuat menahan kekhawatiran, tetesan air mata jatuh dari kedua bola matanya. Batinku semakin melirih dan ingin rasanya ikut menangis. Ya Tuhan, aku berharap Selvi bisa baik-baik saja.
“Kita berdoa aja, semoga Selvi bisa ditangani dokter dengan baik,” ungkap Andra sambil memegang tanganku.
“Kondisi pasien sudah baik-baik saja. Ia hanya mengalami memar dan luka. Sudah diberikan Analgesik dan obat penenang untuk traumanya. Untuk sementara silahkan Ibu melengkapi biaya administrasinya di Kassa agar pasien bisa segera dipindahkan ke ruang inap,” tutur Pria berjas putih yang keluar dari ruangan UGD.
“Uang dari mana atuh, buat bayar sekolah aja masih susah,” Ibu itu semakin menangis dan terlihat bingung ingin melakukan apa.
Aku menarik tangan Andra menuju kasir. Langkah sepatuku yang berdecit di lantai sedikit menarik perhatian beberapa orang yang berada di rumah sakit.
“Pasien bernama Selvi yang ada di ruang UGD, Mbak Suster,” ucapku sedikit jingjit menyeimbangkan tubuh mungilku dengan meja kassa.
“Tiga juta empat ratus ribu rupiah, Mbak,” ungkap suster cantik sambil memberikan dua carik kertas. Aku berbaik dan membuka isi dompetku. Yang ada hanya tiga lembar uang pecahan lima puluh ribu.
“Kalau saya bayar pake ini buat jaminan gimana Mbak Suster? Besok saya tebus, yang penting pasien ini udah bisa dikasih obat dan perawatan inap suster,”
“Gimana ya Mbak, sebentar saya tanya kepala bagian dulu,”
“Kamu yakin ngerelain Iphone kamu buat biaya pengobatan Selvi,”
“Yakinlah, ini tu urgent banget, Ndra,”
“Mbak untuk sementara ponsel ini boleh untuk menjadi jaminan. Silahkan mengisi data base rumah sakit terlebih dahulu,” ungkap suster itu.
***
“Mah, kalau aku minjem dulu uang empat juta aja boleh enggak? Besok aku ganti deh janji,” Aku memohon pada Mama yang sedang menonton televisi. Arah matanya masih memandang ke depan tertawa melihat tingkah Sule dan kawan-kawannya dalam OVJ.
“Buat apa Nak? Kamu tuh yah, tadi pulang larut malem, sekarang minta yang aneh-aneh pula,”
“Mah, kali ini Regina janji deh bakalan jadi anak yang nurut sama orang tua. Enggak bakalan hambur-hambur duit. Mau fokus sekolah biar bisa jadi seorang Apoteker handal yang bisa membanggakan orang tua,”
“Gombal tuh Mah, jangan dipercaya palingan duitnya buat neraktir temennya,” samber Kak Tiara dari arah kamarnya.
“Handphone kamu mana? Tadi Mamah telepon kenapa engga aktif?”
“Nah, justru itu Mah, tadi temen aku masuk rumah sakit. Aku engga tega liat dia. Orang tuanya engga mampu. Makanya aku gadein Iphone aku buat nebus obat. Nih buktinya kalo engga percaya,” ucapku sambil menunjukkan bukti kertas yang tadi diberikan Mbak Suster.
“Kok kamu tiba-tiba jadi heroes kayak gini,” Mama mendaratkan pandangannya ke arahku. Ia tidak lagi memandang layar televisi di hadapannya.
“Setelah mendengarkan ucapan Mama, Aku baru sadar kalo masih banyak orang yang tidak seberuntung kita di sini. Di luar sana banyak yang kelaparan dan kedinginan. Allah udah ngasih aku pengalaman berharga hari ini. Aku yakin kok, sikap aku kali ini engga salah. Bukannya Mama pernah bilang kalo niat yang baik itu akan mendapatkan hasil yang baik,” Mama langsung memelukku. Matanya berbinar dan terharu.
***
Waktu berlalu begitu cepat memberikan berjuta pena berharga di dalam perjalan hidupku. Bagiku, hidup itu seperti desiran ombak, ritme nya tidak bisa ditebak. Aku bersyukur sekali, Tuhan telah mengijinkan Andra untuk menjadi bagian dari hidupku. Mengisi hari-hariku dan menjadi vitamin yang menyegarkan semangatku. 
Kini tepat 100 hari kepergian Mama. Di bulan suci Ramadhan, Mama menghembuskan nafas terakhirnya ketika sedang membuat tajil untuk dibagikan ke mesjid.  Dokter bilang Mama terkena hipertensi.
Inilah kenyataan yang paling pahit dalam hidupku, kehilangan satu-satunya orang yang paling aku sayang.  Sempat aku berfikir bahwa aku tidak akan mendapatkan lagi kebahagiaan karena bagiku, memiliki sosok Ibu adalah satu-satunya kebahagiaan.
Namun, Aku yakin Mama akan selalu ada di setiap langkahku menuju kebaikkan. She’s my guardian angel . Aku akan penuhi janjiku padamu Mah, Aku yakin akan ucapanmu.
“Niat yang baik akan mendapatkan hasil yang baik, Aku berjanji akan jadi lebih baik Mah,” Andra membelai rambutku. Aku segera melangkah pergi menjauh dari pemakaman.
------end------

No comments:

Post a Comment

Comments system

Disqus Shortname

Navigation-Menus (Do Not Edit Here!)

Instagram Photo Gallery